Kamis, 02 April 2015



 Hakim, Berpihaklah Pada Kelestarian Lingkungan


Release aksi JM-PPK REMBANG

Hakim, Berpihaklah Pada Kelestarian Lingkungan

Semarang, Kamis, 2 April 2015 warga Rembang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) Rembang dan aliansi mahasiswa di Semarang dan daerah lainnya melakukan aksi serentak meminta majelis hakim untuk memutuskan gugatan warga Rembang yang berpihak pada kelestarian lingkungan (ekologi).
Bertepatan juga pada hari ini adalah sidang dengan agenda kesimpulan.

Dalam persidangan yang di ketuai majelis hakim Susilowati Siahaan SH  dan hakim anggota Husein Amin Effendi SH dan Desy Wulandari SH. Pada dasarnya harus mempertimbangkan, penambangan yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia tersebut berada di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih yang merupakan kawasan lindung geologi. Berdasarkan hasil penelitian Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), dikawasan tersebut ditemukan 49 Goa yang tersebar dan 4 diantaranya merupakan Goa yang memiliki sungai bawah tanah aktif. Selain itu juga terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watu Putih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Maka dari itu, selama proses sidang gugatan ini kami meminta operasional diberhentikan sampai adanya putusan pengadilan yang tetap.

Bahwa air yang dihasilkan dari sumber mata air yang ada di sekitar kawasan Karst CAT Watu Putih melebihi kebutuhan dasar masyarakat akan air yang rata-rata membutuhkan 10-20 liter/hari/orang. Mata air Sumber Semen menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan air  masyarakat di 14 kecamatan, di Kabupaten rembang dengan estimasi memenuhi kebutuhan 607.188 jiwa, selain itu juga untuk kebutuhan PDAM. Sementara itu, dalam konteks bencana, hilangnya jeda waktu air tersimpan sehingga pada saat musim hujan, air yang seharusnya terserap ke dalam tanah akan berubah menjadi air pemukaan/run off. Pada saat melebihi debit puncak air hujan yang datang akan cepat hilang sebagai aliaran air permukaan dan hal ini dapat mengakibatkan banjir di wilayah-wilayah dataran yang berhubungan langsung dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara pada CAT Watuputih.

Berdasarkan aturan hukum Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2030 menyebutkan bahwa kawasan imbuhan air merupakan kawasan lindung geologi. Lebih lanjut, dalam Keppres Nomor 26 tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah menyebutkan di dalamnya termasuk Cekungan Air Tanah Watuputih.  Selain itu, izin lingkungan Gubernur Jawa Tengah 660.1/17 tahun 2012 bertentangan dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 junto Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Rembang tahun 2011-2031 junto Keppres Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah.

Untuk itu dalam gugatan, warga dan WALHI memohon kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang agar mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batal atau tidak sah surat keputusan gubernur Jawa Tengah nomor 660.1/17 tahun 2012 tentang Izin lingkungan kegiatan penambangan oleh PT Semen Gresik (persero) Tbk. Tidak hanya itu, hakim harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan dan ekologi yang lebih baik untuk kehidupan manusia.

Untuk itu kami mendesak kepada majelis hakim PTUN Semarang:
1. Meminta kepada majelis hakim untuk berpihak kepada masyarakat dan kelestarian lingkungan,
2. Meminta hakim melihat secara utuh dan dengan jujur melihat dari fakta persidangan yang ada sehingga putusannya memihak pada kelestarian lingkungan,

Kordinator Aksi: Marno: 085741686242

Rabu, 01 April 2015



TRADISI SEDEKAH BUMI DESA TEGALDOWO  

      
  Di desa Tegaldowo sesudah panen raya, tiap tahun pasti ada syukuran yaitu berupa sedekah bumi, tapi kalau masyarakat itu menyebutnya “Gas Deso”. Syukuran ini sudah ada sejak leluhur kami dulu, tapi secara turun-temurun sedekah bumi sampai saat ini tetap diadakan oleh masyarakat Tegaldopwo dan sekitarnya. Sedekah bumi di desa Tegaldowo, dari dulu sampai  sekarang ini di gelar setiap hari Jum’at Legi, di masa habis panen raya. Biasanya brokohan/sedekah bumi di gelar di setiap sumber mata air, yang ada di desa Tegaldowo. Setiap keluarga membawa satu tumpeng/ambeng, jika brokohannya sudah di do’akan oleh modin, warga saling tukar –menukar tumpengnya. Tetapi tidak hanya membawa tumpeng kecil saja, tiap RT iuran berbagai makanan dan nasi yang di buat tumpeng besar yang bentuknya mirip gunung/ di sebut juga “Gunungan”. Tumpengnya di buat seperti gunung, karena masyarakat mencari nafkah dari gunung/bukit yang berada di selatannya di desa Tegaldowo. Untuk membawa tumpeng yang besar, ketempat sumber mata air, biasanya di gotong dengan 4 orang atau lebih, karena ini bentuk kerukunan masyarakat di desa. Tumpeng besar itu biasanya di isi dari hasil panen petani yang berupa, pisang, sayuran, nasi dan yang lainnya, dan luar di lapisi dengan daun jati. Yang ikut brokohan/bancakan tidak hanya orang-orang dewasa saja, tetapi anak-anak kecil juga pada ikut datang dan rebutan gunungan. Dan biasanya acara itu di mulai pada pukul 09.00 pagi sampai pukul 11.00 an lebih. Brokohan/bancakan selain bersyukur karena mendapat rejeki hasil panen yang banyak, juga supaya di musim tanam tahun tahun depan tidak terserang penyakit hama atau bencana. Untuk yang di bawakan tumpeng besar, hanya sumber mata air yang besar, untuk yang sumber mata air kecil hanya di bawakan tumpeng yang sederhana saja. Sedekah bumi di desa Tegaldowo identik dengan hiburan kesenian ketoprak satu hari satu malam. Kalau tidak nanggap ketoprak biasanya desa akan terkena pagebluk, warga  banyak yang sakit , tanaman juga akan gagal panen. Untuk menghindari semua itu jadi setiap sedekah bumi, juga nanggap ketoprak hingga saat ini masih berlaku. Dana untuk nanggap ketoprak warga mengadakan gotong royong, yaitu setiap KK iuran sekitar Rp 20.000,00. Kenapa kalau brokohan selalu memilih di sumber mata air? Ya, karena manusia tidak bisa hidup tanpa, dan sumber  mata air sumur Gedhe dan sumber lainnya yang ada di Tegaldowo ini, yang mencukupi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Untuk kebutuhan air, masyarakat desa Tegaldowo tidak ada yang beli air, karena di desaku ada banyak  sumber mata air: sumber mata air yang ada di desa Tegaldowo semua itu sumber  abadi, jadi walaupun musim kemarau tidak pernah kekeringan/kekurangan air. Jadi brokohan sedekah bumi itu adalah bentuk rasa syukur kami terhadap ibu pertiwi, yang selama ini telah menghidupi kami. Kami ingin sumber daya alam yang ada di desa Tegaldowo dan sekitarnya ini, tetap terjaga kelestariannya dan tradisi kearifan lokal ini tetap ada, sampai anak cucu kami nanti.
BUDAYA GOTONG ROYONG


Tegaldowo: Selasa, Tanggal 03/03/2015 dari zaman leluhur kami dulu, sampai zaman sekarang ini, di desa Tegaldowo dan disekitarnya punya budaya gotong royong, tetapi warga Tegaldowo itu menyebutknya ”Sambatan”. Gotong royong itu biasanya dilakukan pada saat mendirikan rumah juga pada saat biasanya membawanya pulang hasil panen dari ladang. Pada  saat mendirikan rumah biasanya sampai 40 orang itu berasal dari tetangga sekitarnya yang mendirikan rumah. Sambatan atau gotong royong itu dikerjakan sampai selesai, meskipun kadang bisa rampung sampai dua hari, tapi kebanyakan satu hari sudah rampung. Karena mayoritas rumah warga Tegaldowo dan sekitarnya itu, dibuat dari bahan kayu semua. Selain karena kayu itu awet, semakin lama harganya juga semakin mahal, di samping itu rumah kayu gampang/bisa di pindah. Di samping semua alasan itu tadi, kami ingin kebudayaan dari nenek moyang kami dulu itu agar tidak hilang/punah dan tetap lestari sampai generasi berikutnya.
         Sekitar lima tahun yang lalu warga Tegaldowo setiap membawa pulang hasil panennya masih dipikul dan berjalan kaki, karena jarak ladang sampai rumah warga sekitar jauhnya mencapai 2 km lebih. Tapi agar cepat selesai atau agar cepat hasil panennya bisa sampai dirumah semua warga melakukannya dengan bergantian sambatan/gotong royong. Meskipun jarak ladangnya ada yang jauh dan ada yang dekat dari rumah, tapi tetangganya tidak merasa keberatan, karena itulah bentuk kerukunan hidup bertetangga. Walau itu pulang-pergi ke ladang sampai berkali-kali dan jalannya naik turun tetapi tetap semangat setiap hasil panennya satu orang biasanya bisa di rampungkan satu hari. Tapi dengan hasil panen yang sangat melimpah para petani senang. Karena setiap tahun hasil panennya malah tambah/melimpah, akhirnya warga berniat dan sepakat untuk membuat jalan agar bisa di lalui oleh truk atau kendaraan lainnya. Dan pembuatan jalan itu dikerjakan bersama-sama dengan cara manual oleh warga yang punya ladang, mereka mengerjakan pembuatan jalan itu dengan cara bergantian/bergiliran. Biasanya warga mengerjakan dari pagi sampai siang hari saja, dan proses pembuatan itu selama dua bulan dan pada musim kemarau. Sekarang akhirnya kalau membawa pulang hasil panennya di angkut oleh truk, tapi yang ladangnya jauh dari jalan juga masih di lakukan dengan cara gotong royong, tetapi sekarang tidak sampai rumah, hanya sampai dipinggir jalan saja. Tradisi sambatan/gotong royong itu menurut warga selain mempercepat pekerjaan juga untuk mempererat tali persaudaraan dan kerukunan. Budaya itu sampai saat ini juga masih di gunakan oleh warga Tegaldowo dan sekitarnya.